PEREMPUAN DAN AIDS
1.
Pendahuluan
AIDS dikenal sebagai penyakit pertama kali baru pada tahun 1981,
ketika sejumlah kecil kasus muncul di Amerika Serikat.[1]
Sejak itu pula pengetahuan mengenai AIDS semakin berkembang dengan pesat dan menjadi
salah satu agenda penting tidak hanya dikalangan kedokteran, tetapi juga
dikalangan politis, agama dan masyarakat luas. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh
adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem
kekebalan tubunya dirusak oleh virus yang di sebut HIV (Human Immunodeficiency virus).
HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.[2]
2.
Isi
Berbicara mengenai perempuan dan AIDS tentu tidak terlepas dari tinjauan
aspek medis Namun lebih jauh, hal tersebut dapat pula kita lihat dalam kerangka studi
gender yang dapat menolong kita untuk memahami lebih jauh masalah perempuan dan
AIDS.
a.
Perspektif Medis
AIDS adalah sebuah penyakit mematikan yang
sampai dengan saat ini belum ditemukan vaksin atau obat penawarnya (walaupun
akhir-akhir bidang kedokteran telah menemukan dan menciptakan suatu vaksin
berbentuk kapsul, namun hasilnya pun belum secara nyata mampu menyembuhkan
pasien penderita AIDS). Penyakit ini dapat menyerang siapa saja; laki-laki dan
perempuan, orang tua dan anak, lapisan atas hingga lapisan bawah, tanpa pandang
bulu. Dilihat dari persentasi peluang penderita AIDS, perempuan memiliki
peluang lebih besar untuk tertular HIV. Dibandingkan laki-laki, perempuan
dikatakan 3 sampai 8 kali lebih rentan terhadap penularan HIV. [3]
HIV merupakan virus penyebab AIDS yang dapat ditemukan terutama dalam darah,
air mani, dan cairan vagina. Dalam berhubungan seks, alat reproduksi
perempuan sebagai wadah air mani. Karenanya, bila air mani tersebut mengandung
HIV, maka perempuan akan terjangkit HIV.
Perempuan sering tidak menyadari bahwa ia mengidap Penyakit Menular Seksual (AIDS
adalah sebuah penyakit menular) atau sering menyadari kehadiran infeksi pada
alat reproduksinya. Hal itu terjadi karena infeksi pada perempuan umumnya
tersembunyi jauh di mulut rahim. Infeksi disertai luka. Ini juga menjadi jalur
masuk bagi HIV saat seorang perempuan berhubungan seks dengan seorang laki-laki
yang mengidap HIV. Bisa dilihat, ada beberapa penyebab mengapa perempuan dapat
dikatakan rentan terhadap AIDS:
- Perempuan memiliki peluang lebih
besar untuk tertular HIV/AIDS dibandingkan laki-laki tertular oleh
perempuan. Selain itu, gejala HIV/AIDS tidak semudah laki-laki
mendeteksinya, Karena pada perempuan gejala umum tersembunyi di dalam
saluran reproduksinya.
- Kemampuan perempuan menekan
kemungkinan dirinya terkena HIV/AIDS secara langsung berkaitan dengan daya
yang dimiliki oleh perempuan, baik dari sudut ekonomi, sosial, informasi
yang dimilikinya, maupun pendidikan, dll.
- Perbedaan kekuatan antara laki-laki
dan perempuan sebagaimana dibentuk oleh sisitem ekonomi dan sosial budaya
yang meletakkan kekuasaan ekonomi ditangan laki-laki. Ini sering
berhubungan langsung dengan 'boleh
tidaknya' perempuan menentukan pola dan peraturan hubungan seksual
dengan pasangannya., kesulitan perempuan meminta laki-laki menggunakan
kondom kesulitan mengatasi paksaan atau agresi laki-laki dalam hal
seksual, dll.
Gejala-gejala penderita AIDS
Seseorang yang terkena HIV/AIDS, maka secara
perlahan kekebalan tubuhnya akan menurun. Dengan menurunnya kekebalan tubuh,
berbagai penyakit dengan leluasa akan menyerang. Perawatan dan pengobatan yang
diberikan pada dasarnya adalah untuk mengendalikan infeksi-infeksi dan penyakit
opportunistic yang muncul dan bukan untuk mengobati dari AIDS itu sendiri. Pada
dasarnya, perawatan yang diberikan kepada pengidap HIV adalah untuk menjaga
agar ia tetap bertahan sehat lebih lama, dan bukan untuk menyembuhkannya dari
AIDS itu sendiri. Adapun gejala-gejala yang nampak dari penderita HIV/AIDS yaitu
:[4]
- Kulit:
kekeringan kulit, perubahan warna kulit (menjadi lebih pucat dari biasanya),
gatal-gatal atau kelainan kulit, luka terbuka atau benjolan pada kulit.
- Mulut:
lapisan putih atau kehadiran tanda-tanda putih pada mulut, gusi berdarah,
rasa sakit, benjolan didalam mulut, sariawan.
- Pencernaan:
naik turunnya berat badan, selera makan menurun, mual, muntah, berubahnya
rasa makanan, kesulitan menelan, sakit pada dada ketika menelan, rasa
sakit pada bagian perut.
- Buang air:
diare, kesulitan buang air, rasa sakit ketika buang air, pendarahan ketika
buang air, kesulitan mengendalikan buang air, perubahan dari biasanya.
- Pernapasan:
napas pendek (waktu istirahat, waktu berjalan atau waktu selepas
olahraga), batuk-batuk, sulit bernapas, rasa sakit pada dada.
- Syaraf:
pusing, leher kaku, hilangnya rasa pada tangan atau kaki,, hilangnya
keseimbangan tubuh, bingung atau menurunnya kemampuan mengingat, sulit
berkonsentrasi, bicara menjadi tidak jelas, perubahan dalam kemampuan
melihat, peka cahaya, gemetar atau kejang, kelelahan, kesedihan atau
depresi mendalam.
Penularan HIV/AIDS
Penularan HIV dapat melalui :[5]
§ Hubungan seksual
§ Transfusi darah; pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi/alat-alat
kesehatan yang sudah tercemar virus HIV, pisau cukur yang diapaki secara
bergantian dan sisir
§ Melalui ibu yang terjangkit virus HIV ke anak, selama masa kehamilan,
persalinan, dan menyusui.
Pencegahan
Penderita AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat
dengan pesat. Sampai dengan saat ini, AIDS memang penyakit berbahaya yang dapat
menimpa siapa saja dan sejauh ini belum ditemukan vaksin yang benar-benar mampu
menyembuhkan mereka yang menderita AIDS, namun kita dapat mencegah supaya
penyakit tersebut jangan sampai menimpa diri kita atau keluarga kita dan
masyarakat umum. Ada
tiga cara yang dapat dilakukan agar HIV tidak menular pada kita maupun orang
lain yang dikenal dengan prinsip ABC:[6]
- Abstinence, yakni puasa tidak
melakukan hubungan seks
- Be
Faithful, yakni tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada
pasangan
- Condom.
Apabila kedua cara di atas sulit dilakukan, maka melakukan seks aman
dengan menggunkanan kodom.[7]
b.
Perspektif Gender
Penggunaan perspektif gender untuk melihat persoalan HIV/AIDS kian
hari kian disadari pentingnya. Kenyataan ini muncul dari fakta yang secara
gamblang menujukan bagaimana infeksi virus berbahaya ini dikalangan perempuan
meningkat dengan pesat. Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah apa yang
menyebabkan perempuan lebih rentan tertular HIV/AIDS? Sejauh ini faktor utama yang mempengaruhi
kerentanan perempuan tertular HIV selain
faktor biologis adalah faktor sosial-ekonomi.[8]
Sebetulnya ada banyak cara
yang dapat dilakukan untuk melindungi perempuan dari infeksi HIV. Beberapa cara
yang dapat dilakukan antara lain menerapkan uji saring darah untuk transfusi dan
penyuluhan kesehatan mengenai HIV/AIDS. Namun sayangnya, untuk jutaan
perempuan, layanan-layanan tersebut sulit dijangkau. Hal ini terutama
disebabkan masih besarnya ketergantungan ekonomis perempuan terhadap laki-laki
yang pada ujungnya menyebabkan posisi tawar perempuan sangat rendah dihadapan
laki-laki.
Ketakutan ditinggal
suami, yang berarti kehilangan tempat bergantung, menyebabkan perempuan tidak
berdaya untuk ikut menentukan kapan dan bagaimana hubungan seksual yang aman.
Apalagi untuk mengontrol resiko tertular HIV. Masih berkaitan dengan masalah
ekonomi, dalam masa krisis seperti sekarang ini, pelacuran merupakan kondisi
berikutnya yang makin menyulitkan perempuan untuk melindungi dirinya dari
infeksi HIV. Banyak perempuan miskin yang jatuh dalam prostitusi karena ingin
memenuhi kebutuhan keluarga.
Di masyarakat kita pada umumnya berlaku standar ganda : perempuan
yang tidak setia terhadap pasangannya dianggap memiliki perilaku menyimpang,
sementara seorang laki-laki dianggap wajar mempunyai wanita lain. Hal ini
menyebabkan seorang istri hampir-hampir tidak memiki daya kontrol terhadap
perilaku seksual suaminya diluar rumah.[9]
Selain faktor ekonomi, kerentanan perempuan terhadap HIV juga
disebabkan karena banyak perempuan yang pengetahuan dasarnya tentang HIV sangat
minim yang disebabkan keterbatasan sistem informasi. Hal ini tidak terlepas dari
akibat adanya pembagian peran yang timpang dalam masyarakat. Pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh stereotype yang ada
dimasyarakat. Pandangan umum atau stereotipe yang berlaku selama ini
melihat Perempuan sebagai makhluk yang
lemah, lembut, emosional dan pasif, oleh karena itu tugas perempuan hanya
terbatas pada sektor domestik atau “terkotak” pada ranah rumah tangga.
Sementara laki-laki digambarkan sebagai makhluk yang kuat, perkasa, rasional,
dan aktif dan karena itu laki-laki
diberikan peran yang lebih besar dari perempuan yaitu pada sektor publik. Oleh
karena peren perempuan hanya pada lingkup domestik, maka perempuan tidak
memiliki akses yang kuat mengenai penyakit HIV. Perempuan menjadi makhluk yang
terbelakang dalam memperoleh informasi dibandingkan laki-laki. dalam pelayanan
kesehatanpun nampak adanya bias gender, di mana subordinasi perempuan dalam
dunia kesehatan ditandai oleh dominasi yang berlapis-lapis antara dokter-yang
hamper selalu dicitrai laki-laki dengan perawat-yang dicitrakan sebagai
perempuan-atau antara para medis dengan pasien yang secara structural
menunjukan hubungan yang tidak seimbang. Institusi kedokteran hampir didominasi
oleh laki-laki yang tentu saja akan mempengaruhi cara perempuan (pasien)
ditempatkan.[10]
3.
Penutup
Hal-hal di atas
sesungguhnya merupakan refleksi dari struktur sosial yang timpang yang
menempatkan perempuan sebagai subordinat. Sebagai contoh, karena posisi perempuan yang
subordinat, menyebabkan perempuan berada pada posisi di mana ia tidak mampu melarang suaminya untuk tidak
melakukan hubungan seks dengan perempuan lain, atau meminta suaminya memakai
kondom pada saat berhubungan seks bila tahu suaminya telah terkena penyakit
kelamin. Disamping itu, karena kedudukannya, perempuan juga tidak memiliki
akses terhadap informasi-informasi yang ada termasuk informasi tentang penyakit
AIDS maupun penyakit menular seks lainnya (terutama perempuan-perempuan yang berada di pedesaan atau kota-kota kecil). Jadi kerentanan perempuan tertular
HIV/AIDS kurang lebih disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor biologis
dan faktor sosial-ekonomi. Kedua faktor utama ini telah menolong kita untuk
melihat masalah perempuan dan AIDS sebagai suatu masalah yang juga disebabkan
adanya ketimpangan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka :
1. Weber, Jonathan &
Ferryman, Annabel, Aids & Anda , Jakarta : Arcan, 1996.
2. Djoerban, Zubairi, Membidik AIDS,Yogyakarta :
Galang Press, 1999.
3. _____________, Perkembangan
Mutakhir AIDS: Benarkah AIDS Dapat Disembuhkan? Jakarta : FKUI, 1996.
4. Abdullah, Irwan, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta : Tarawang Press, 2001.
5. Andrews, HIV Infection: Virus Information Exchange Newsletter, Boston : National
Academy Press, 1989.
[10] Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan
(Yogyakarta : Tarawang Press, 2001), hal. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.